Pristiwa 3 Oktober 1945 di Pekalongan
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia , PPKI bersidang tanggal 18 Agustus 1945, yang menetapkan :
- Mengesahkan dan menetapkan UndangUndang Dasar Republik Indonesia yang kemudian lebih dikenal sebagai Undang Undang Dasar 1945.
- Memilih Ir. Soekarno sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden.
- Sebelum terbentuknya Majelis Permusyawaratan Rakyat, pekerjaan presiden un- tuk sementara waktu dibantu dibantu oleh Komite Nasional.
Pengisian alat kelengkapan negara ini dilanjutkan
dengan sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 yang menghasilkan keputusan
membentuk
(1). Komite Nasional
(2). Partai Nasional Indonesia
(3). Badan Keamanan Rakyat.
Berdasarkan hasil sidang PPKI tanggal 22 Agustus
1945 tentang pembentukan Komite Nasional, maka di Jakarta dibentuk
Komite Nasional Indonesia Pusat atau yang disebut KNIP yang diresmikan
pada tanggal 29 Agustus 1945 dengan ketuanya Mr Kasman Singodimejo dan
anggotanya sebanyak 60 orang. Komite Nasional ini dimaksudkan sebagai
penjelmaan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia yang menye- lenggarakan
kemerdekaan Indonesia dan berlandaskan kedaulatan rakyat.
Pembentukan KNI di daerah tentu saja tidak sebaik di
tingkat pusat, namun se- mangat pembentukan KNID inilah yang perlu
dibanggakan, sebagai pelaksanaan dik- tum proklamasi, yaitu hal-hal
mengenai pemindahan kekuasaan akan dilaksanakan dengan cara yang seksama
dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Maka seperti halnya di
daerah lain di Indonesia, di Karesidenan Pekalonganpun di bentuk Komite
Nasional Indonesia..
Atas instruksi dari Sarmidi Mangunsarkoro, tiap
daerah agar segera membentuk Komite Nasional Indonesia untuk membantu
Kepala Daerah. Di Karesidenan Pekalongan dibentuk Komite Nasional
Indonesia dengan badan pekerjanya, sebagai Badan Eksekutip untuk
membantu Kepala Daerah. Adapun tokoh pendirinya antara lain Dr.
Sumbadji; Sarpan; Djohar Arifin; K.H. Iljas; Kromo Lawi; Kadir Bakri;
Dr. Ma’as; H. Siroj dan Hasan Ismail.( Yayasan Resimen XVII, 1983 : 12
).Komite Nasional Indonesia untuk karesidenan Pekalongan terbentuk
tanggal 28 Agustus 1945, dengan susunan anggota Badan Eksekutipnya
adalah Dr. Sumbadji sebagai Ketua, Wakil Ketua Dr. Ma’as, Sekretaris S.
Wignyo Suparto, sedangkan anggotanya R. Suprapto; Kromo Lawi; A. Kadir
Bakri; K.H. Moch Iljas; dan Jauhar Arifin.
Residen Pekalongan waktu itu dijabat oleh Mr. Besar.
Pemerintah pusat biasanya mengangkat Fuku Syuchokan ( Wakil Residen )
sebagai Residen dalam pemerintahan Republik Indonesia.Jabatan residen
ini merupakan jabatan fungsionaris tertinggi yang semula hanya dipegang
oleh orang Jepang saja. Pengangkatan Mr Besar sebagai Residen pada
tanggal 18 September 1945, oleh Presiden Soekarno ( A.H. Nasution, 1977 :
366 ). KNI Daerah Karesidenan Pekalongan mengusulkan agar Mr Besar
diangkat sebagai Residen Pekalongan kepada Presiden Soekarno tanggal 12
September 1945, dan oleh AG Pringgodigdo menjawab resmi usulan KNI
Pekalongan ini tanggal 21 September 1945 bahwa Mr Besar secara resmi
diangkat sebagai Residen Pekalongan..Pengangkatan Mr Besar sebagai
Residen Pekalongan ini terlambat sampai tanggal 23 September 1945,
sehingga Mr Besar belum secara resmi mengumumkan kemerdekaan Indonesia.
Empat hari kemudian Jepang secara resmi menyerahkan kekuasaan kepada Mr
Besar sebagai Residen Republik secara resmi. ( Lucas, 1989 : 99 ).
Usaha KNI setelah terbentuknya lembaga ini tanggal
28 Agustus 1945, adalah mengambilalih kekuasaan pemerintahan sipil dan
militer dari tangan Jepang. Mr Besar sendiri pernah membicarakan
mengenai tindakan apa yang akan dilakukan setelah kemerdekaan dengan
beberapa tokoh seperti A. Bustomi dan Dr. Ma’as. Di dalam kontak dengan
Mr Besar, Dr.Ma’as bertanya tentang bagaimana sebaiknya sikap kita
setelah proklamasi ? Gerakan pengambilalihan kekuasaan di beberapa
daerah sudah dimulai.Bahkan di Purwokerto Tentara Jepang menyerahkan
kekuasa- annya kepada Mr. Ishak Tjokroadisuryo, Residen Banyumas.
KNI Pekalongan pada bulan September 1945 sudah mulai
menghubungi Syuchokan Pekalongan, yaitu Tokonami untuk mengikuti
Tentara Jepang di Purwokerto menyerahkan kekuasaannya kepada pihak
Indonesia.Namun sebagai bawahan dari Keibutai atau Komandan Garnisun di
Purwokerto, Tokonomi sendiri masih ragu-ragu dan harus berkonsultasi
dahulu dengan pihak Keibutai karena wilayah Pekalongan, Purwokerto dan
Cirebon merupakan bawahan Kei butai Purwokerto.
Dr. Sumbadji, Sebagai ketua KNI Daerah Pekalongan
melontarkan gagasan agar di Pekalongan dibentuk Badan Kontak untuk
menyatukan berbagai aliran politik di masyarakat. Tujuannya menaEmpung
aspirasi rakyat, agar segala tindakan bisa manunggal dan terkoordinir.
Gagasan ini menarik, karena akan mengajak masyarakat berpartisipasi
dalam memecahkan masalah-masalah yang sedang dihadapi, yakni
pengambilalihan kekuasaan.Sebab partai politik sejak masa pendudukan
Jepang di Indonesia memang sudah dilarang. Pada saat itu partai
politikpun belum muncul. Partai politik mulai berkembang di Republik
Indonesia yang baru berdiri ini sejak tanggal 3 November 1945. Dasarnya
adalah keluarnya Maklumat Pemerintah 3 November 1945 tentang pembentukan partai-partai
politik. Setelah dikonsultasikan kepada Mr Besar, gagasan membentuk
Badan Kontak ini akhirnya tidak dilaksanakan karena menurut Mr Besar
semua aliran politik yang ada di masyarakat sudah tertampung di dalam
KNI sehingga kontak dan koordinasi diserahkan kepada Badan Eksekutip KNI
, selain itu supaya tidak menimbulkan kecurigaan dari pihak Jepang.
Sebetulnya di Pekalongan ada 3 kekuatan moral yang
mendukung pengambilalihan kekuasaan ini, yakni kelompok KNI yang
dipimpin Dr. Sumbadji; kelompok BPKKP yang dipimpin oleh Dr. Ma’as dan
kelompok Angkatan Muda yang dipimpin oleh Mumpuni dan Margono Jenggot.
Ketiga kelompok inilah yang dikoordinir oleh KNI mulai aktip mengadakan
pendekatan dengan pihak Jepang.
Tiga kelompok yakni BPKKP, KNI dan angkatan muda,
selalu selalu berunding di kantor BPKKP. Pertemuan ini merupakan
kegiatan rutin dari tokoh-tokoh masyarakat Pekalongan.Mereka selalu
kordinasi dalam mengambil langkah-langkah dan selalu menunggu
perkembangan yang akan terjadi dengan sikap kematangan dan menjaga
persatuan, sehingga arah perjuangan jelas dan tidak menyimpang dari rel
perjuangan yang telah disepakati bersama. Di dalam pertemuan ini
akhirnya disepakati bahwa pelaksanaan pengambilalihan kekuasaan
dilakukan dengan cara diplomasi atau perundingan dengan pihak Jepang.Dr.
Sumbadji dan Dr. Ma’as menjadi utusan untuk menghadap Syuchokan
Tokonami agar menentukan kapan dan di- manakah akan diadakan perundingan
dengan tokoh-tokoh masyarakat.
Akibat situasi yang memanas di Pekalongan, dan agar
tidak terjadi insiden yang tidak diinginkan,akhirnya pihak Jepang mau
berunding dengan pihak Tokoh masyarakat di Pekalongan. Perundingan akan
dilaksanakan tanggal 1 Oktober 1945 pukul 10.00 bertempat di kantor
Karesidenan Pekalongan atau kantor Syucho.Namun karena situasi yang
kurang menguntungkan di Semarang, akhirnya pihak Jepang menunda
perundingan dengan Tokoh masyarakat Pekalongan. Usul perundingan ini
dibahas di rumah Mr Besar oleh kelompok masyarakat Pekalongan, dan
akhirnya ditentukan:
Perundingan di tetapkan tanggal 3 Oktober 1945 pukul
10.00 pagi di markas Kempeitai; Para delegasi Indonesia terdiri dari
Mr. Besar dan anggota Eksekutip KNI; Ketua delegasi ditetapkan Dr.
Sumbadji; Sedangkan tuntuan dari pihak Indonesia terdiri dari tiga pasal
yaitu (1). Pemindahan kekuasaan pemerintahan dari Jepang kepada pihak
Indonesia dilaksanakan dengan damai dan secepatannya. (2). Diserahkan
semua senjata yang ada ditangan Jepang, baik yang ada di Kempeitai,
Keibitei, maupun yang ditangan Jepang Sakura kepada pihak Indonesia.
(3). Memberi jaminan pada pihak Jepang bahwa mereka akan dilindungi,
diperlakukan diperlakukan dengan baik dan dikuEmpulkan menjadi satu di
markas keibitei ( sekarang kantor Pemda Kodya Pekalongan ) sampai dan
termasuk Societeit Delectatio dan Handelsbank ( Oetoyo, 1983 : 2 ).
Apa yang telah dilakukan pihak KNI yang selalu
kerjasama dengan pihak lain seperti para pemuda dan BPKKP menunjukan
adanya sikap persatuan diantara kelompok kekuatan di Pekalongan. Hal ini
menunjukkan bahwa keutuhan pendapat dan kelompok akan berarti bagi
setiap perjuangan. Kekompakan inilah yang akhirnya membawa hasil dengan
jatuhnya kekuasaan Jepang kepada masyarakat Pekalongan, meskipun dengan
tebusan mahal, yakni 37 orang gugur dan 12 orang cacat dalam Peristiwa 3
Oktober 1945 di Pekalongan.
Pengunduran waktu perundingan yang semula akan
dilaksanakan tanggal 1 Oktober 1945 menjadi 3 Oktober 1945 tidak
menyebabkan melemahnya moral Tokoh-tokoh masyarakat Pekalongan, justru
dianggap hal yang menguntungkan sekali. sebab dengan diundurnya
perundingan dengan pihak Jepang, konsolidasi dari pihak Indonesia
semakin mantap. Bahkan waktu inipun dimanfaatkan antuk membocorkan
penundaan perundingan kepada masyarakat. Masyarakat diharapkan
menyaksikan perundingan dengan pihak Jepang untuk memberi semangat
kepada pihak Indonesia dan menurunkan moral pihak Jepang yang sudah
jatuh akibat kekalahan dalam Perang Asia Timur Raya melawan sekutu.
Dukungan masyarakat inilah yang mencer minkan manifestasi rasa
kebanggaan dan patriotismenya dengan mendatangi tempat perundingan,
yaitu Markas Kempeitai yang selama ini dianggap sebagai lambang
kekejaman pendudukan Jepang di Indonesia. Masyarakat akhirnya
berbondong-bondong menyaksikan wakil-wakil mereka berunding denga pihak
Kempeitai tanggal 3 Oktober 1945.
Tanggal 3 Oktober 1945, masyarakat Pekalongan pada
pagi hari sudah banyak yang berkuEmpul di sekitar Markas Kempeitai, di
Lapangan Kebon Rojo, baik tua maupun muda, laki-laki maupun perEmpuan.
Mereka tidak hanya datang dari dalam kota saja, namun dari luar kota
Pekalongan seperti daerah Buaran dan Comal. Mereka memakai pakaian
tEmpur, dengan bersenjata seadanya seperti bambu runcing, parang, kayu
serta potongan besi dan lain-lainnya. Merah Putih dipakai sebagai
lencana dan ikat kepala. Mereka semakin banyak berdatangan di lokasi
perundingan hingga pukul 09.30. Mereka ingin melihat keberhasilan wakil
mereka dalam perundingan dengan Jepang.
Pukul 09.45 Delegasi Indonesia dengan berjalan kaki
dari rumah Mr.Besar menuju Markas Kempeitai. Mereka dielu-elukan masa
dengan teriakan “ Hidup Repu blik Indonesia, jangan mundur dari
tuntutan; hidup wakil-wakil rakyat Pekalongan “. Rombongan diantar
sampai ke pintu gerbang Markas Kempeitai dengan sorakan dan teriakan
massa “ Jangan mau tawar, jangan mundur dari tuntutan , berhasillah kami
menunggu; kami tidak akan bubar sebelum bapak-bapak kembali; kembalilah
dengan selamat ‘.
Sementara pada hari itu juga 15 orang dari kelompok
Jepang Sakura disandera para pemuda dan mereka dimasukkan di salah satu
ruangan kantor Syucho Pekalongan. Ancaman para pemuda yang menyekap
orang Jepang tersebut , adalah akan membunuh mereka bila perundingan
gagal.
Salah satu Tokoh masyarakat, yaitu Ulama KH Syafi’i
turut menggerakkan massanya memberikan dorongan moral bagi delegasi
Indonesia . Pada kerumunan massa ini tampak polisi Indonesia seperti
Suwarno, Sunaryo, Hugeng, Utaryo, A. Bustomi dan lain-lainnya.
Tepat pukul 10.00 pagi perundingan dimulai. Meja
perundingan diatur leter U Pihak Jepang duduk dalam satu baris menghadap
ke barat, terdiri dari
- Tokonomi ( Syuchokan );
- Kawabata ( Kempeitaidan );
- Hayashi ( Staf Kempeitai );
- Harizumi ( Penterjemah ).
Sedangkan dari pihak Indonesia tersusun dalam dua baris terdiri
dari baris utara dan baris selatan. Deret sebelah utara berturut-turut
(1). Mr. Besar;
(2). Dr. Sumbadji
(3). Dr. Ma’as.
Adapun deretan sebelah selatan berturut-turu
(1).R. Suprapto;
(2). A. Kadir Bakri;
(3). Jauhar Arifin.
Anggota eksekutip KNI yaitu Kromo Lawi dan Kyai Moch
Iljas, sampai perundingan dimulai tidak hadir. Menurut M. Syaichu dalam
tulisannya yang berjudul Seki las Perjalanan Hidupku, mengatakan bahwa
ketidak hadiran dua tokoh KNI ini karena sesuatu dan keperluan lain.
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Setyadi Lawi, pu- tera Bapak Kromo
Lawi , mengatakan bahwa Bapak Kromo Lawi, salah satu tokoh pergerakan
nasional di Pekalongan yang disegani, memang tidak hadir tetapi tidak
pernah menjelaskan mengapa bapak tidak hadir waktu itu.Sementara menurut
Anton E lucas , Karena kedekatannya dengan Jepang, sebagai ketua
PUTERA, seksi perdagangan Hokokkai, Kromo Lawi tidak disenangi oleh
Pangreh Praja. Ketika bentrokan dengan Jepang pada awal Oktober , pemuda
menangkap Kromo Lawi dengan tuduhan agen subversif kempeitai.( lucas,
1969 : 95 ).
Mr. Besar membuka perundingan dengan terlebih dahulu
memperkenalkan dele- gasi Indonesia, dilanjutkan mengemukakan maksud
dan tujuan mengadakan perun- dingan dengan pihak Jepang. Pihak Jepang
menyambut dengan pertanyaan mengapa pihak Indonesia datang dengan
membawa massa yang banyak ? karena hal ini akan menimbulkan kejadian
yang tidak diinginkan.
Dr. Sumbadji selaku ketua delegasi menyatakan
perlunya tindak lanjut setelah adanya proklamasi kemerdekaan, yakni
terlaksananya pemindahan kekuasaan pe- merintah dari tangan Jepang
kepada pihak Indonesia dengan damai, serta disam- paikan tuntutan tiga
pasal dengan harapan jangan sampai terjadi insiden yang dapat
mengorbankan rakyat banyak.
Adapun tuntutan tiga pasal tersebut adalah: (1).
Pemindahan kekuasaan dilaksanakan dengan damai dan secepatnya; (2).
Penyerahan senjata dari tangan Jepang adalah semua senjata yang ada
ditangan Jepang baik yang ada di Kempeitai, Keibitei, maupun Jepang
Sakura kepada pihak Indonesia; (3). Memberikan jaminan pada pihak Jepang
bahwa, mereka akan dilindungi, diperlakukan dengan baik, dan
dikuEmpulkan menjadi satu di Markas Keibitei. ( DHC Angkatan ’45
Pekalongan, 1983 : 7-8 ).
Tokonomi menjawab bahwa, Pemerintah Bala Tentara
Nippon sudah mendengar proklamasi yang dibacakan oleh Bung Karno dan
Bung Hatta tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta, namun di daerah ini
pemerintah Dai Nippon tidak bisa menerima ke- inginan pihak Indonesia
karena pihaknya masih berkewajiban menjaga status quo yang ada demi
kepentingan, keamanan, dan ketentraman rakyat.Pihak Jepang mema- hami
tuntutan dari pihak Indonesia, tetapi pihaknya terikat dengan Sekutu
bahwa sebelum ada instruksi dari Dai Nippon di Jakarta, pihaknya masih
bertanggungjawab untuk mempertahankan status quo. Kemudian Dr. Ma’as
angkat bicara, bahwa sebenarnya tentang pemindahan kekuasaan sudah tiada
persoalan lagi.Karena Jendral Terauchi telah berjanji waktu bertemu
Bung Karno di Dalat akan memerdekakan Indonesia. Bukankah sekarang sudah
tepat pada waktunya ?
Seorang Kempeitai melaporkan bahwa, ada wakil pemuda
yang akan bertemu dengan Dr. Sumbadji. Setelah diijinkan, Mumpuni dan
Margono berbicara langsung dengan Dr. Sumbadji dengan nada
keras:”Sudahkah perundingan selesai ? jangan terlalu lama rakyat tidak
sabar menunggu”.
Sesudah dua jam menunggu hasil perundingan antara
Residen Besar dan Kempeitei, mereka itu tidak sabar lagi. Mr Besar
terpaksa keluar untuk men jelaskan kompromi yang telah tercapai;
Kempeitei akan menghentikan aksi-ak si keliling kota dan menyerahkan
sejumlah senjata kepada polisi kota, supaya jumlah senjata polisi sama
dengan yang dimiliki Kempeitei. Senjata ini harus di simpan di
societeit, sedangkan kuncinya yang satu dipegang oleh Residen Besar dan
lainnya dipegang oleh Komandan Kempeitei. Ini berarti pemuda tidak dapat
mengeluarkan senjata tanpa seizin kedua penguasa itu. ( Lucas, 1989 :
124-125 )
Ketika penterjemah sedang menterjemahkan pembicaraan
Dr. Sumbadji, sekonyong-konyong terdengar letusan senjata dari luar.
Keadaan menjadi sunyi . Terdengar teriakan serbu ! dari luar. Letusan
ini tidak diketahui dari pihak mana yang memulai.Suasana berubah menjadi
kacau.… sampai sekarang kita belum mengetahui dengan pasti
letusan senjata itu dari pihak siapa. ? Apakah itu dari pihak Kempeitai
? Kita kurang mengetahui. Akibat selanjutnya terjadi tembak-menembak
antara massa di luar gedung dan pihak kempeitai, juga markas kempeitai
dikepung rapat oleh rakyat. ( Yayasan Resimen XVII, 1983 : 18 )
Dalam tulisannya yang berjudul Peristiwa Perebutan
Kekuasaan Pemerintah dari Pemerintah Penjajahan Jepang di Pekalongan,
DHC Angkatan ’45 melukiskan sebagai berikut :Selagi perundingan sedang
berjalan, terdengarlah ledakan senjata api, yang tidak jelas dari mana
datangnya. Perundingan menjadi bubar tidak membawa hasil. Letusan api
yang tidak jelas itu, disusul rentetan bunyi metraliur.
Mr.Besar beserta pengurus KNI menyelamatkan diri,
meninggalkan meja perundingan dan melalui tembok samping kanan markas
kempeitai menerobos masuk ke ruang kantor karesidenan . ( Yayasan
Resimen XVII, 1983 : 94 ). Pemuda Rahayu dan Bismo dengan beraninya menancapkan
bendera merah putih di atas atap markas kempeitai, dalam rangka
mengobarkan semangat rakyat ketika terjadi peristiwa perlawanan rakyat
terhadap Jepang, ketika perundingan belum selesai dan Kempeitai
menembaki massa di depan markas. Mereka naik ke atas atap tanpa komando
dan tanpa memikirkan bahaya menimpanya. Mereka bertindak secara spontan.
Dalam buku Sekitar Perang Kemerdekaan I, A.H. Nasution menuliskan sebagai berikut :
Rupanya Jepang sudah membuat siasat. Dari dalam
gedung mereka melepaskan tembakan dengan senapan mesin, sehingga rakyat
kacau balau dan korban-korban berjatuhan. Akan tetapi rakyat tidak mau
mengalah begitu saja. Seorang pemuda dari barisan kereta api naik ke
atas gedung untuk mengibarkan sang merah putih. Ia ditembak jatuh, akan
tetapi tetap memegang bendera sampai ajalnya. ( A.H. Nasution, 1977 :
367 ).
Saksi sejarah yang bernama bapak Azis Basyarachil
mengatakan pada penulis, ketika peristiwa 3 Oktober 1945 , beliau masih
menjadi pelajar SMP, dan menceriterakan peristiwa ini antara lain ketika
peristiwa ini terjadi, beliau melihat suasana di sekitar Markas
Kempeitai, Kantor Karesidenan serta daerah Kebon Rojo yang dipadati
manusia yang akan menuntut senjata dari Jepang. Sebetulnya di markas
kempetei tidak ada senjata, karena senjata disimpan di tempat
lain.Mereka heran kenapa Jepang tidak mau menyerahkan senjatanya kepada
pihak Republik, padahal Indonesia sudah merdeka.Menurut bapak Azis
kenapa pula di Markas Kempeitai masih menaikan bendera Jepang ? hal
inilah yang akhirnya mendorong Rahayu, untuk mengibarkan merah putih di
atas atap Markas Kempeitai.
Yang pertama kali menembak dengan senapan pistol
adalah Jepang, disusul dengan tembakan senapan mesin oleh Jepang
terhadap massa terutama yang berada di sekitar halaman markas kempeitai.
Menurut bapak Azis , betapa terkejutnya beliau ketika Jepang meletakkan
metraliur yang berarti Jepang akan membuat gara-gara. dan betul,
tembakan pistol, adalah pertanda bagi Jepang untuk segera melancarkan
penembakan kepada rakyat.Jepanglah yang mulai melakukan penembakan. Mana
mungkin rakyat Indonesia waktu itu bersenjata api. Peta di
Pekalonganpun dibubarkan Jepang sebelum peristiwa ini terjadi. Kalau ada
polisi bersenjata, dan siap di atas pagar, ternyata tidak menembak
kepada Jepang sebagai balasan atas perlakuan Jepang karena senjata
mereka tidak berpeluru.Memang rakyat Pekalongan datang ke Sekitar Markas
Kempeitai dalam sikap siap tempur, dengan senjata seadanya. Bapak Azis
sendiri waktu itu membawa bambu runcing, namun akhirnya terbuang karena
terjadinya kekacauan tersebut. ( wawancara dengan Bapak Azis Basyarachil
).
Delegasi Jepang segera meninggalkan sidang, kemudian
masuk ke ruang kempeitai sehingga perundingan mengalami kegagalan dan
diakhiri dengan korban yang berjatuhan. Masyarakat yang di luar gedung yang mengepung rapat
tempat perundingan, menjadi sasaran tembakan senapan mesin dari
Kempeitai.Rakyat marah dan tanpa komando menyerbu markas, melalui pintu
masuk, lewat memanjat tembok keliling gedung, menaiki atap gedung yang
bertujuan menghancurkan dan merampas senjata dari Jepang.Rakyat banyak
yang menjadi korban dalam peristiwa ini.Puluhan orang menggeletak di
depan gedung berlumuran darah.Beberapa diantaranya pelajar,seperti
Nugroho, Mujiono dan Murtono. Perlawanan yang tak seimbang berlangsung
sekitar satu jam.( Lud, 1995 : 11 ).
Para korban umumnya yang memanjat tembok keliling
Markas Kempeitai, dan yang menyerbu lewat pintu depan. Banyak penyerbu
yang meninggalkan teman-te mannya untuk menyelamatkan diri.Korban yang
terluka masih dapat diseret ke luar markas.Namun ada yang tergeletak dua
hari di depan Markas Kempeitai.
Rasmadi menjadi korban penembakan Jepang dalam
Peristiwa 3 Oktober 1945 sehingga menjadi cacat tetap, karena tertembak
kakinya dan terbaring selama 3 hari di depan Markas Kempeitai. (
wawancara dengan Budi Suparno, Putera Rasmadi ).
Rakyat membubarkan diri untuk menjaga segala
kemungkinan yang akan terjadi bila pihak Jepang membalas dendam. Dari
salah satu saksi sejarah yang penulis temui menuturkan sebagai berikut
tentang peristiwa 3 Oktober 1945 antara lain …Bapak Muhardjo adalah
anggota pemuda pegawai Pamong Praja Kota Pekalongan, yang menjadi salah
satu saksi dalam pertempuran 3 Oktober 1945 di Pekalongan. Melihat
sendiri betapa Jepang dengan kejam membantai rakyat Pekalongan. Mengenai
Perundingan dengan Jepang KNID mulai berunding pukul 10.00, namun
terjadinya tembakan pertama dan dilanjutkan penembakan dengan mitraliur
Oleh Jepang terhadap massa.Seusai peristiwa 3 Oktober 1945 Bapak
Muhardjo tidak berani pulang di Bendan, tetapi malamnya menginap di
Pesindon. Pada pagi buta baru pulang, karena takut Jepang akan membalas
dendam setelah peristiwa tersebut. Penaikan bendera oleh Rahayu dan Bismo, merupakan
simbol semangat nasionalisme yang berkobar dari jiwa muda yang masih
idealis tanpa merasa adanya resiko yang bakal diterima. ( wawancara
dengan Bapak Muhardjo ).
Sementara sandera Jepang yang di tangkap para pemuda
dan dikuEmpulkan di ruang Syucho dibunuh tanpa kenal aEmpun Jumlah
orang Jepang yang dibunuh tidak jelas, karena yang luka dan yang
meninggal dibawa lari oleh Jepang. Diperkirakan korban dari pihak Jepang
sebanyak 22 orang.Termasuk Hayashi, Kempeitai yang terkenal
kejam.Hayashi ditembak oleh Sumantra.Beberapa pemuda yang ditawan Jepang
sampai berakhirnya peristiwa ini adalah Suhardjo, Sudjono, Djoned,
Kuswadi, Singgih, Suwarno, Sarino dan lain-lain. ( S. Prawiro, 1983 : 89
).
Dalam hal ini ada kejadian yang menarik perhatian
kita, yaitu adanya pengibaran bendera merah putih di atap markas
kempeitai yang dilakukan oleh Rahayu dan Bismo. Insiden ini menarik
perhatian penulis. Apa sesungguhnya yang mendorong timbulnya peristiwa
bendera ini ? Keberanian Rahayu dan Bismo yang menurunkan bendera Jepang
dan mengibarkan sang merah putih di atap markas kempeitai patut dicatat
dalam sejarah di Pekalongan ini. Setelah pertempuran yang tidak seimbang terjadi,
rakyat akhirnya bubar, semen- tara korban bergelimpangan di sekitar
Markas Kempeitai. Suasana menjadi sunyi, dan hanya ada beberapa anggota
Kempeitai yang berjaga-jaga di luar dengan bayonet terhunus.
(Oetoyo,1983:12) Korban peristiwa berdarah ini bagi pihak Indonesia
cukup banyak baik mereka yang gugur sebagai pahlawan bangsa maupun
mereka yang cacat sebagai pembela negara.
Korban yang tergeletak di depan Markas Kempeitai ada
yang masih hidup. Untuk menolong mereka akhirnya minta bantuan dari
Embrio PMI yang di Pekalongan tokohnya DR. Sumakno, Dr. J. J Tupamahu,
Dr.L S Lisapally, Dr. Sunarya Said dan Dr. sumbadji. Mereka inilah yang
menolong korban pertempuran, setelah berunding dengan Kempeitai yang
bertahan di markasnya. Barulah hari ketiga setelah pertempuran, mayat
yang sudah mulai membusuk diangkat oleh sukarelawan yang berasal dari
Rumah Sakit Kraton, dinas kesehatan dan eks EHBO ( EERSTE HULP BY
ONBELUKKEN ) yaitu Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan,yang di bentuk
pada jaman penjajahan Belanda. ( wawancara dengan Bapak Abdul Karnen ).
Dan yang mengurus jenasah di Markas Kempeitai menurut hasil perundingan
dengan pihak Jepang harus para wanita, atau dokter sendiri, supaya tidak
menimbulkan kecurigaan Jepang. Sukarelawan PMI yaitu Hardinar Mulyadi,
dan Mary Soemakno ( sekarang isteri Hugeng mantan KAPOLRI ).Menurut Mary Hugeng kenangan pada peristiwa ini dituturkan sebagai berikut: …..Dr Tupamahu membawa bendera palang merah ukuran
kecil yang biasanya untuk kendaraan. Enam orang dari kami berjalan
lambat-lambat sambil berharap peneropong mereka melihat bendera
kami.Ketika sampai di depan barikade, Dr Tupamahu menjelaskan bahwa kami
dari palang merah dan akan mengambil siapapun yang terluka. Lalu kita
mulai bekerja. Saya ingat tidak seorang pun dari pemuda itu yang
mempunyai senjata kecuali bambu runcing. Mereka itu masih hidup (setelah
pertempuran) walau perutnya kena tusuk, kadang-kadang dua orang
direnteng dalam satu tusukan bambu, seperti sate, sungguh mengerikan !
Mereka semua ditembak dadanya dengan senapan mesin. Tiba-tiba salah satu
mayat itu berkata, “ Tolonglah saya. “ Ka kinya telah ditembak dan
telah terkapar sepanjang siang hari di bawah terik matahari. Ia berkata,
“ Saya sudah mati seandainya hujan tidak turun semalam. “ Kami segera
membawanya ke Rumah Sakit dan diperbolehkan mengambil semua mayat
manfaat identifikasi. Salah seorang saudara puteri saya jatuh pingsan
begitu tiba di rumah sakit. ( Lucas, 1989 : 126 ).
Jenasah disemayamkan di Rumah Sakit Kraton dan
dimakamkan di daerah Panjang, pada tanggal 6 Oktober 1945 sekitar pukul 4
sore. Tempat pemakaman ini sekarang diberi nama Taman Makam Pahlawan
Rekso Negoro.Kadang kala pihak keluarga korban tidak tahu dimanakah
makam keluarganya di Taman Makam Pahla- wan itu. Penuturan Ibu Martono,
puteri Bapak Rifai yang menjadi korban penem- bakan oleh Kempeitai
mengatakan bahwa sampai sekarang tidak tahu yang mana makam ayahnya itu.
( Wawancara dengan ibu Martono ).
Beberapa pendapat mengenai jumlah korban yang dihiEmpun penulis adalah :
- Menurut buku Pengabdian Resimen XVII Kepada Bangsa Dan Negara, mencatat korban meninggal 35 orang dan mereka tergeletak selama dua hari dihalaman gedung Kempeitai.
- Menurut catatan DHC Angkatan ’45 Pekalongan yang berjudul Perjuangan Pemuda Pekalongan Mengusir Jepang 3 Oktober 1945, menuliskan pahlawan yang gugur 36 orang , seorang meninggal di depan kantor Kempeitei.
- M. Syaichu dalam bukunya yang berjudul Sekilas Perjalanan Hidupku, melaporkan bahwa korban di pihak pejuang 32 orang, tetapi ada yang mencatat 37 orang, sedang menderita cacat sebanyak 12 orang.
- Dalam buku Pekalongan Kota Batik yang diterbitkan Pemda Dati II KotamadyaPekalongan mencatat 35 orang meninggal dan 12 orang cacat.
- Paguyuban Keluarga Pahlawan 3 Oktober 1945 di Pekalongan
Sumber : http://bedjobanged.wordpress.com/2010/09/18/peristiwa-bersejarahpekalongan/
Komentar Facebook
Komentar Blogger